Masyarakat Adat 6 Desa di Kecamatan Lumbis Inginkan Izin Operasional PT. BHP Dicabut

MediaSuaraMabes, Nunukan – Masyarakat adat 6 desa di Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, yakni Desa Patal I, Patal II, Lintong, Pulubulawan, Taluan dan Desa Podong menghendaki agar
rekomendasi DPRD Nunukan untuk pencabutan izin operasional perusahaan sawit PT. Bulungan Hijau Perkasa (BHP).

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang Ambalat I DPRD Nunukan, masyarakat adat ini menuding PT BHP telah mencaplok lahan di enam desa tersebut seluas 3.716,15 Ha. Masyarakat adat juga mengeluhkan bantuan Corporate Social responsibility (CSR) dan nihilnya rekruitmen Sumber daya manusia (SDM perusahaan dari wilayah sekitar perusahaan.

Menyikapi permintaan masyarakat tersebut, DPRD Nunukan telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) beberapa bulan lalu dan diketuai Lewi.S.Sos.
Dan adapun Hasil Pansus dibacakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di ruang Ambalat I DPRD Nunukan, Jumat (3/9/2021), dari pihak PT BHP menyanggupi diantaranya :
1.Terkait Plasma, perusahaan bersedia menyediakan bibit kelapa sawit sebanyak 1.000–1.500 pohon per desa, termasuk membantu menyediakan alat berat dan supervisor untuk land clearing dilahan milik masyarakat.
2.Terkait tuntutan CSR, PT.BHP bersedia mengalokasikan Rp 250 juta untuk 6 desa setiap tahunnya.
3.Perusahaan akan memberikan prioritas penerimaan karyawan di sekitar PT BHP sepanjang ada kebutuhan tenaga kerja dan mengacu aturan perusahaan.

Ketua Adat Desa Patal, Sukirman mengatakan, tuntutan masalah lahan plasma merupakan persoalan yang sudah mereka perjuangan sejak 14 tahun lalu. Jadi tawaran pihak PT BHP tersebut dianggap tak ada bedanya dengan janji-janji yang selama ini diucapkan pihak perusahaan.
Dia menilai perusahaan telah “melakukan pembodohan dengan tidak memberikan 20 persen lahan plasma sebagai kewajibannya sebagaimana disyaratkan dalam undang- undang. Persoalan ini berlarut –larut dan ketua adat lama kami sudah meninggal semua. Sudah empat kepala adat berganti namun belum ada titik temu,’’ ujarnya.

Baca Juga :  FK Warga RW 03 Pegadungan Mendesak Lurah Copot Ketua RW Yang Diduga Terlibat Penyalahgunaan Narkoba

Ia juga merasa heran dengan rentang waktu sekian lama, pemerintah daerah seakan abai akan persoalan ini. Kebun yang dikelola PT. BHP sudah menghilangkan pendapatan masyarakat ada.

“PT. BHP tak ubahnya melakukan penjajahan karena mata pencaharian masyarakat adat sama sekali musnah. Tidak ada lagi gaharu, hasil hutan lain berupa rotan dan damar menjelma menjadi kebun sawit..‘Seluruh asset adat lenyap sudah menjelma sawit. Tadinya kami berharap adanya Pansus DPRD menyikapi permasalahan PT. BHP bisa menjadi solusi, ternyata sama saja tidak ada titik temu,’’ kata Sukirman.

Sementara Kades Taluan, Nasution mengatakan, “janji tersebut sudah disampaikan sejak 10 tahun lalu, perusahaan menawarkan lahan di luar HGU yang sebenarnya bukan plasma melainkan kemitraan. Sementara yang kami minta adalah kewajiban perusahaan memberikan 20 persen lahan plasma dalam HGU. Ini yang kami katakana pembodohan,’’ tegas Nasution.

Menurutnya, sudah beberapa kali PT BHP, “menunjukkan lahan kosong di luar HGU mereka dan mempersilahkan masyarakat untuk menggarap, tapi begitu masyarakat menemukan lahan yang ditunjuk, ternyata lahan tersebut milik perusahaan lain. Begitu pula saat PT. BHP menunjukkan lokasi lain yang ternyata bukan menjadi hak perusahaan dimaksud, melainkan masuk lahan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK),” ungkap Nasution.

‘’Jadi ini lagu lama, ujungnya pembodohan. Intinya kami mau 20 persen dalam HGU, tapi yang terjadi ternyata tidak ada lahan kosong. Yang mereka tunjukkan terakhir kali adalah lahan KBK, apa ada yang berani merubah KBK menjadi kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) ?, kami minta pansus rekomendasikan pencabutan izin PT. BHP,’’ ucap Nasution.

Sementara Camat Lumbis, Muhammad Efendi menjelaskan,” lahan masyarakat 6 desa ini posisinya terjepit dan dikuasai banyak perusahaan disekitarnya, ada PT BHP, ada PT. Prima Bahagia, PT. Nunukan Sawit Mas, (NSM), PT. Gema Alam Lestari (GAL) dan PT. Inhutani,” ujarnya.

Baca Juga :  ARD Sebut Terkesan Diskriminatif Menyoal Disabilitas di Subang

“Datanya tidak sinkron, pihak masyarakat mengatakan lahan perusahaan sekitar 3 ribu hektar, versi Bappeda hanya 1.300 Ha. Dan sampai hari ini, perusahaan juga tidak pernah melapor ke kami berapa luas lahan yang mereka garap, Sayangnya, sampai hari ini tidak ada data pasti berapa luasan lahan masyarakat yang dicaplok perusahan, berapa tanah desa, dan berapa lahan milik perusahaan,” bebernya.

TANGGAPAN ANGGOTA PANSUS DPRD NUNUKAN

Menanggapi permintaan rekomendasi pencabutan izin operasional PT. BHP, anggota DPRD Nunukan Gat Khaleb ,” mengaku cukup mendukung permintaan tersebut karena jika melihat PP Nomor 26 tahun 2021 Pasal 12 Huruf a, disana mensyaratkan bahwa areal perusahaan yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib 20 persen memfasilitasi pembangunan perkebunan bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya.

‘’Dan pada ayat 2 disebutkan, selambatnya 3 tahun setelah izin HGU diberikan, perusahaan wajib melaksanakan hal itu. Sedangkan dalam Pasal 25, apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana pasal 13 akan dikenakan sanksi administratif, berupa denda, penghentian sementara operasional, sampai pencabutan izin,’’ jelas Gat.

Senada dengan pendapat Gat Khaleb, Amrin Sitanggang mengatakan,”juga sangat berharap masyarakat bisa memiliki 20 persen lahan plasma untuk jadi hak mereka. Itulah kewajiban perusahaan dan menjadi jaminan hidup masyarakat adat. Bagaimana mungkin mereka (masyarakat) bisa hidup, sementara asetnya dikuasai perusahaan semua?. Jadi ini kita akan perjuangan,’’ katanya.

Andre Pratama dari Partai Bulan Bintang, mengungkapkan, “ terus terang bahwa Pemerintah memiliki kendala dalam penyelesaian soal CSR, karena dalam UU CSR, tidak ada aturan yang secara spesifik membahas prosentase kewajiban dari total keuntungan perusahaan yang harus diberikan kepada masyarakat sekitar. Dalam UU tersebut, aturan pemberian CSR seakan mengambang dengan dimuatnya redaksi bahasa ‘’selama patut dan wajar’’,” ungkapnya.

Baca Juga :  Ciptakan Herd Immunity, Lanal Banjarmasin Kebut Pemerataan Vaksinasi Maritim

“Dalam Pasal 5, tanggung jawab sosial dan lingkungan itu ada bahasa kepatutan dan kewajaran, itu yang menghambat pemerintah. Selama perusahaan menganggap apa yang dilakukan patut dan wajar, selesai sudah !. Tapi dirinya juga mempertanyakan mengapa sudah 14 tahun masalah ini belum terurai,’’ kata Andre.

Pandangan lain diutarakan Andi Krislina, “izin PT. BHP akan selesai pada 2023, dimana nantinya testimony dan respon masyarakat akan menjadi pertimbangan dalam perpanjangan izinnya,” tuturnya.

‘’Sebenarnya kita punya bargaining kuat dengan masa berakhirnya izin PT. BHP pada tahun 2023 nanti. Saya tidak mengatakan sabar dulu, tapi itu menjadi celah kita melakukan evaluasi dan memasukkan tuntutan masyarakat dalam salah satu syarat mengajukan izin perpanjangan itu,’’ jelasnya.

Dari hasil pertemuan ini, selanjutnya DPRD Nunukan akan mengkaji urgensi keluarnya rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan PT. BHP.

Syafaruddin/Biro Nunukan

Comment