Kadin Bersama Lima Asosiasi Kepelabuhanan Jatim Sepakat Tolak RUU Perubahan Undang Undang Pelayaran

MediaSuaraMabes, Surabaya – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Jawa Timur bersama lima asosiasi Kepelabuhanan di Jatim, yaitu ALFI/ILFA, INSA, APBMI, GINSI dan GPEI menyatakan secara tegas menolak terhadap Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Perubahan ketiga Undang-undang Pelayaran no. 17 tahun 2008 khususnya pada Pasal 110 pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Pernyataan sikap tegas penolakan dilakukan oleh induk masing-masing asosiasi usaha kepelabuhanan tersebut yang menyoal dan mempertanyakan bersama terkait tarif yang disampaikan di Kantor Kadin Jatim, Jum’at (23/8/2024).

Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto menjelaskan, pihaknya bersama lima asosiasi pelaku usaha kepelabuhanan menolak tegas atas RUU perubahan pada undang-undang pelayaran yang berencana menghapus beberapa poin pada Pasal 110, dan akan berkirim surat resmi kepada Presiden RI.

“Kami dan asosiasi pengusaha keberatan atas langkah itu, dan kami menolak karena didalam rencana perubahan itu keterlibatan asosiasi dihilangkan. Menurut kami ini sebuah kemunduran, masalah pentarifan dulu asosiasi dilibatkan, sekarang sak karepe dewe,” tegasnya.

Selanjutnya kata Adik, bahwa penolakan ini akan dilanjutkan dengan berkirim surat ke Presiden pada minggu mendatang yang akan ditembuskan ke Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN

“Untuk itu kita berupaya mengembalikan seperti semula sehingga peran asosiasi yang telah tercantum dalam UU Pelayaran itu berjalan kembali,” tambahnya

Hal ini harus dilakukan, karena sekarang ini problem tentang daya saing, dan salah satu yang paling penting itu ada pada logistik yang dianggap terlalu tinggi bahkan dunia internasional pun menganggap indonesia terlalu tinggi.

“Sehingga kita fokus bagaimana menurunkan biaya logistik yang tinggi itu. Kita lihat lubang-lubangnya dimana supaya bisa turun agar ada daya saing,” urainya.

Baca Juga :  Tolak Keras Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, AHY: “Memundurkan Kualitas Demokrasi

Menurut Adik lagi, semangat itu tidak ada di dalam rencana perubahan pada UU Pelayaran tersebut. Ini sangat urgent yang bisa berdampak pada semua kegiatan perekonomian nasional.

“Kita bersama sejumlah asosiasi berusaha melawan upaya perubahan tersebut hingga tidak direalisasikan apapun caranya dan bila perlu berhenti beroperasi,” ancamnya

Adik yakin pemerintah paham akan penolakan tersebut mengingat peta jalan pemerintah sebenarnya adalah menurunkan cost logistik agar daya saing produk Indonesia semakin naik, dan segera akan memberi masukan kepada DPR.

“Tinggal sensitivitas Kementerian Perhubungan tentang hal ini yang kita pertanyakan karena usulan tersebut sangat meresahkan pelaku usaha logistik di tanah air,” harapnya.

Sementara Ketua Forum Asosiasi Kepelabuhanan yang sekaligus Ketua Indonesia National Shipowners Association (INSA) Surabaya, Stenven H. Lesawengen menjelaskan bahwa disepuluh tahun terakhir ini ada gerakan massif yang akan menghilangkan keterlibatan asosiasi dan apabila pasal dihilangkan maka kenaikan tarif di pelabuhan tidak dapat terkontrol.

“Persoalan terkait tarif yang termatup dalam UU no. 17 Tahun 2008 dengan turunannya pada PM. 121 tahun 2018 pasal 1 dan seterusnya itu yang kami sikapi dimana keterlibatan asosiasi itu akan ditiadakan,” jelasnya

Stenven mengingatkan, jika RUU ini jadi di sah kan maka dampak yang akan muncul dan ditanggung sangatlah besar serta bisa kemana-mana.

“Contoh seperti perbedaan tarif di Teluk Lamong dengan tarif 110 ribu bika dibandingkan dengan Jamrud yang hanya 35 ribu maka tak menutup kemungkinan dengan perubahan aturan, bisa juga semena-mena akan dirubah sama bahkan bisa melebihi dari tarif Teluk Lamong,” kata Stenven.

Seirama dengan Stenven, Sebastian Wibisono Ketua ALFI/ILFA Jatim dengan tegas mengatakan mendukung yang apa sudah dilakukan oleh DPP terkait aksi penolakan ini dengan merapatkan barisan membantu dan mendorong bahwa hal tersebut sangat negatif, dimana kita ingin menurunkan biaya logistik justru malah kemunduran yang dilakukan dan monopoli akan diwujudkan.

Baca Juga :  Upaya Partai Gelora Kaltara Menjaga Kelestarian Bumi dan Alam Sekitar

“Ini yang kita tentang atau kita lawan, karena terminal operator perlu ada pengawasan dan pengontrolan. Tidak hanya masalah ditarif, bagaimana kegiatan opeasional yang ada di terminal operator sehingga kami sebagai wakil pengguna jasa itu juga ikut membantu mengontrol agar tidak terjadi permasalahan,” ungkapnya.

Selain biaya logistik yang besar, kualitas pelayanan juga harus ditingkatkan dan berharap menteri Perhubungan sangat sensitif terhadap permasalahan ini dan semoga dapat berjalan dengan baik kedepan. Masalah yang menyangkut tarif yang lebih dihembuskan, karena ini merupakan marwahnya dari asosiasi sehingga apa yang menyangkut tarif ini akan menyangkut pada masalah tarif baru yang lain.

“Seperti yang sudah dinyatakan DPP bahwa kami menolak atas usulan pemerintah yang menghapus pasal 110 ayat (1 dan 5) pada Daftar Inventarisasi masalah RUU tentang perubahan ketiga UU no 17 tahun 2008 tentang Pelayaran,” tambahnya

Senada dengan asosiasi kepelabuhan lain, Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Jatim, Kody Lamahayu Fredy mengatakan, telah sejalan dengan apa yang telah disampaikan DPP dengan secara serentak seluruh Indonesia menolak rencana penghapusan Pasal 90 ayat (3) huruf g dan pasal 110 ayat (5) huruf b pada DIM RUU tentang perubahan ketiga atas UU no. 17 Tahun 2008.

“Kami melihat bahwa pemerintah dalam hal ini berusaha menekan cost logistik, tetapi pemerintah juga melepas peraturannya untuk bisa menaikan cost logistik, inilah masalahnya, “ ujarnya.

Contohnya masalah ODOL (Over Load Over Dimensi) Kody menambahkan, diharuskan truk muat maksimal 7 ton, dan biasa dimuati 30 ton maka yang terjadi ongkos akan naik bisa sampai 300-400 persen dari 7 ton.

“Kita berharap pemerintah harus mengerti pelabuhan, sehingga bikin peraturan itu bisa tepat untuk digunakan,” tandasnya. (dws)

Baca Juga :  Anies Akan Kampanye Terbuka di Aceh

Comment