Jangan Cedrai Keluhuran Katolik, Pemerhati Papua : Seruan John Bunai Ganggu Kedamaian Papua.

MediaSuaraMabes, JAKARTA — Konflik Papua belum berakhir, itu diakibatkan banyak kepentingan bermain memanfaatkan Isyu Papua. Kalau ingin rakyat Papua damai tidak terjadi konflik itu merupakan tugas semua warga Papua. Diantaranya kaum Agamawan yang ada di Papua duduk bersama berkomitmen membangun iklim aman dan damai. Salah satunya peran gereja beserta para pendetanya membimbing masyarakat mewujudkan ketenangan dan kedamaian di bumi Papua.

Memprihatinkan dengan Seruan John Bunay yang mewakili 194 pastor katolik yang bekerja di Papua pada (11/11/21) justru akan membuat tidak tenang, bisa menjadi pemicu ketidak stabilan yang semestinya gereja kaum Agamawan para pastor atau pendeta tidak masuk pada ruang – ruang politik kepentingan, sebaiknya berkonsentrasi jaga umat.

Tanggapan pemerhati Papua John Giscard atas Seruan dari John Bunai mewakili 134 pastor Katolik mengatakan ” Secara kronologis siaran Pers John Bunay yang mewakili 194 pastor katolik yang bekerja di Papua (11/11/21). Seruan John Bunai rentetan dari seruan senada disuarakan oleh para pastor pribumi Papua (8/06/2020), lalu, seruan (11/12/2020). Ditambah lagi seruan oleh 34 Pastor Projo Keuskupan Timika (31/08/2021). Kendatipun isi seruan dan sasarannya berbeda, tetapi nada dasarnya hampir sama, layaknya suatu CD yang satu tembang lagu diputar-putar ulang, kata John Giscard Pemerhati Papua, Kamis (25/11/2021).

Disimak dari jumlah pastor penandatangan seruan yang beranjak dari 147 di tahun 2020 ke jumlah 194 orang pastor bisa disimpulkan mewakili Gereja dalam artian para imam menjadi “the voice of voiceless” dan sekaligus menjalankan tugas Gereja sebagai Nabi yang menyerukan kebenaran, kebaikan, cinta dan kebaikan umum. Perlu dicatat juga bahwa suara keNabian itu tidak bisa diukur dari jumlah penandatangan. Tidak Seorang Nabi menyuarakan suara Allah yang bersifat universal dan lepas dari kepentingan kelompok tertentu atau agenda politik apapun.

Yang agak tidak lumrah dari seruan-seruan para pastor pimpinan John Bunay ini adalah sikap “diam” dari para Uskup se Papua. Bisa jadi John Bunay dan colleganya merasa amat ‘gemas dan geram” dengan sikap sikap lamban dan diam para uskup dari Jayapura, Merauke, Timika, Agats dan Sorong-Manokwari.

Baca Juga :  Masuk Tiga Besar Lembaga Negara Dipercaya Publik, Ini Respons Polri

Dalam konteks seruan itu, para uskup tentunya hati-hati untuk menanggapinya karena para uskup itu adalah pemimpin Gereja Lokal dan Gereja itu adalah Umat Allah dan Umat Allah itu tidak saja terdiri dari orang pribumi Papua, tetapi juga semua orang yang entah dia anggota TPN OPM, TNI, sipil, POLRI, pejabat pemerintah maupun korban-korban dari suatu pertikaian. Bagi Gereja yang utama bukan saja membela the oppressed tetapi juga mentobatkan dan mengubah hati the oppressor, ungkap John Giscard.

Seharusnya seorang pastor katolik bersikap.

Selanjutnya mengatakan “Kereja sebagai hierarki memang tidak berpolitik praktis tetapi Gereja mendorong kaum awam berpolitik. Wewenang “Gereja sama sekali tidak dapat dicampur adukkan dengan negara dan tidak terikat pada sistem politik mana pun juga. Gereja itu menjadi tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia.” Inilah pedoman universal Gereja yang disampai dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes no. 76 (GS. 76).

Dalam konteks politik entah di Indonesia maupun Papua, muatan politis suatu seruan tentunya multi tafsir. Namun secara prinsipiil Gereja Katolik sebagai bagian dari bangsa Indonesia dipanggil untuk ikut terlibat dalam upaya menghidupi, dan mengembangkan demokrasi demi terwujudnya kesejahteraan hidup bersama (bonum commune).

Konsili Vatikan II dalam dokumen Apostolicam Actuositatem (AA) sangat mendorong Gereja agar ikut memperbaiki dan menyempurnakan dunia. Gereja tidak hanya diutus untuk menyampaikan warta tentang Kristus dan menyalurkan rahmat-Nya kepada umat, tetapi Gereja harus ikut merasuki dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injili ( bdk. AA.5

Siaran pers John Bunai dan kemanusiaan.

Peran John Bunai dominan karena selain karena posisinya sebagai direktur STFT Fajar Timur, menggantikan almarhum Neles Tebay, John juga popular di seantero Papua dan sebagian Indonesia karena sering memberikan kotbah dalam konvensi-konvensi Kharismatik entah di kalangan Gereja katolik tetapi juga di luar Gereja Katolik. Di antara koleganya, beliau sudah dipandang senior dan “berani” berbicara dengan aroma lelucon (mob-mob) Papua. Beliau punya skill komunikasi social yang baik dan diterima banyak kalangan. Jadi menurut saya, dalam tiga konpres para Pastor Papua, John Bunai bukan saja memprakarsai seruan tetapi juga menjadi juru bicaranya.
Kepemimpinan beliau dalam seruan itu tentunya hasil dari pengalaman pribadi sebagai pihak yang juga “korban”. Ada sejenis “memoria passionis” suatu gerak social yang terbit dari suatu kesadaran bahwa dia adalah korban.

Baca Juga :  Komisi II DPR RI Apresiasi dan Dukung Pengambilalihan Pengelolaan TMII oleh Pemerintah

Seruannya adalah seruan yang muncul dari pengalaman seorang korban. Ada yang beranggapan bahwa eksposure John Bunai adalah upaya dirinya untuk dilirik menjadi uskup Jayapura menggantikan Uskup Leo Laba Ladjar ofm. Namun penilaian demikian adalah bagian dari cara menilai dalam perseptif social politik yang sama sekali tidak mempengaruhi proses pemilihan dan pengangkatan seorang uskup Gereja Lokal. Gereja Katolik memiliki prosedur kanonik yang ketat dan penuh rahasia dalam proses pemilihan seorang Uskup.

Sikap Pastor katolik dan kemanusiaan

Secara politis, seruan para Pastor Papua sudah agak “offside” karena telah mengambil alih peran Uskup Lokal yang tentunya dipandang tidak proaktif. Melihat alamat dari seruan itu, nadanya senantiasa mengulang-ulang issue yang nyaris sama dengan laporan-laporan LSM yang bekerja di dan demi Papua. Untuk menjadi nabi bagi “the voice of voiceless” tidak lah cukup dengan menyiarkan seruan lewat KonPress, apalagi nyaris diulang dalam nada yang sama dalam periode yang pendek. Itu berarti suara atau seruan itu bagaikan suara yang berseru-seru di padang gurun kosong tanda gaungnya.

Ingatlah bahwa orang Melanesia itu amat pragmatis, segala sesuatu diukur dari hasil berguna atau tidak secara praktis. Saya ingat kata-kata Santo Yohanes Paulus II dalam pesan hari perdamaian sedunia 1 Januari 1985, “Sudah saatnya kita mengubah kata-kata menjadi tindakan. Tiap individu, masyarakat dan keluarga, penganut agama, organisasi-organisasi nasional maupun internasional, hendaklah mengakui bahwa mereka dipanggil untuk memperbaharui komitment mereka: bekerja bagi perdamaian.

” Bekerja bagi perdamaian itu butuh kurikulum praktis di lapangan. Para pastor bersyukur punya umat dan mereka tinggal bersama umatnya hingga mereka juga mampu merasakan derita, kecemasan dan harapan umat sebagai derita, kecemasan dan harapan mereka. Di pihak lain, para pastor juga adalah “raja-raja” yang panggilannya menjadi guru perdamaian dan kemanusiaan. Perlulah umat siapapun dia asli Papua, dia OPM-TNP, atau dia anggota TNI-POLRI atau sipil yang bukan asli Papua, mereka semua adalah umat kita yang memiliki martabat yang sama.

Baca Juga :  Rekam Jejak Profile Sang KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman

Sudah saatnya dikedepankan Pendidikan perdamaian dan keadilan bagi umat dan masyarakat dengan lebih menekankan martabat dasar manusia ketimbang hak-hak asasi manusia. HAM itu multitafsir sesuai kepentingan politik, ekonomi tetapi Martabat Manusia itu universal dan mengikat.

Di atas dasar Martabat Manusia itulah HAM berdiri kokoh. Tugas para Pastor adalah mengajarkan universalitas martabat manusia kepada semua umatnya dan bukan membuat konperensi pers selusin seruan yang sebentar lagi terbawa angin dan dilupakan. Pedomannya sudah ada dan Gereja memiliki sumber-sumber yang kaya dalam ASG (Ajaran Sosial Gereja). Sudahkah para pastor mengajarkannya kepada Umat, ungkap John Giscard Pemerhati Papua.

Yang disampaikan John Giscard Gereja beserta para pastor pendeta harus mengayomi umat orang asli Papua maupun bukan. Warga sipil Papua, TNI Polri, OPM yang keristen adalah warga yang harus diayomi dibimbing keimanannya oleh Gereja adalah benar. Kedamaian Papua merupakan syarat utama terbangun kehidupan umat beragama di Papua yang aman damai.

Comment