Tebang Pilih Kejaksaan Tinggi Aceh : Mengapa Hukum Tak Berlaku Sama Bagi Semua?

Oleh :
Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa

MediaSuaraMabes, Aceh – Hukum seharusnya menjadi pedoman yang adil dan konsisten. Namun, dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar, tampak jelas adanya ketidakkonsistenan dalam penetapan tersangka. Padahal, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) telah menegaskan dalam Pasal 1233 dan Pasal 1338 bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Artinya, setiap individu atau lembaga yang terlibat dalam sebuah kontrak memiliki tanggung jawab hukum yang sama.

Dalam hukum pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara dapat dipidana. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menegaskan bahwa baik pejabat pemerintah maupun pihak swasta yang berperan dalam suatu proyek yang merugikan negara bisa dijerat hukum. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada diskriminasi dalam penetapan tersangka.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur batasan kewenangan pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan, termasuk dalam penggunaan anggaran. Pasal 17 UU ini menyatakan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya hingga menyebabkan kerugian negara dapat dipidana. Oleh karena itu, jika dalam kasus tertentu Pengguna Anggaran (PA), atau penyedia jasa terbukti melanggar aturan, seharusnya mereka juga dijadikan tersangka.

Peran dan Tugas PPTK dalam Pengadaan Barang/Jasa

Dalam konteks pengadaan barang /jasa pemerintah, penting untuk memahami peran dan tugas Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Berdasarkan peraturan yang berlaku:

– PPTK adalah pejabat pada Unit Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 1 ayat 10.a Perpres No. 12 Tahun 2021).

– PPTK bukan merupakan Pelaku Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Perpres No. 12 Tahun 2021.

– PPTK bertugas membantu PA/KPA dalam melaksanakan kegiatan/sub kegiatan (Bab I huruf G Permendagri No. 77 Tahun 2020).

– Tugas PPTK Hanya Bersifat Administratif dan Pelaporan

– Uraian Tugas PPTK (PMDN No.77 Tahun 2020)

Tugas mengendalikan dan melaporkan pelaksanaan teknis Kegiatan/Sub kegiatan
a. menyusun jadwal pelaksanaan Kegiatan/Sub kegiatan.
b. memonitoring dan evaluasi pelaksanaan Kegiatan/Sub kegiatan; dan
c. melaporkan perkembangan pelaksanaan Kegiatan/Sub kegiatan kepada PA/KPA.

Tugas menyiapkan dokumen dalam rangka pelaksanaan anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan Kegiatan/Sub kegiatan

Baca Juga :  Polsek Nagrak Polres Sukabumi Salurkan Bansos, Dalam Giat HKGB KE-69 Tahun 2021.

a. menyiapkan laporan kinerja pelaksanaan Kegiatan/Sub kegiatan;
b. menyiapkan dokumen administrasi pembayaran sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan; dan
c. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan.

PPTK tidak memiliki kewenangan untuk menyetujui kontrak atau mengeluarkan keputusan strategis dalam proyek pengadaan. Tugasnya hanya melaporkan kepada PA/KPA, Jika ada penyimpangan dalam proyek, tanggung jawab utama berada pada PA/KPA, bukan PPTK, sehingga tidak seharusnya dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi.

Asep Zulfikar, S.S.T, seorang ahli pengadaan barang/jasa, menegaskan bahwa PPTK tidak dapat dihukum karena tugasnya hanya menyiapkan dokumen. Dalam hal ini, PPTK tidak memiliki tanggung jawab hukum yang sama seperti PA atau KPA dalam proyek pengadaan barang/jasa.

Namun, dalam praktiknya, beberapa kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar, tampak adanya inkonsistensi dalam penetapan tersangka, mengapa dalam satu kasus PPTK dijadikan tersangka, sementara dalam kasus lain PA dan penyedia jasa justru lolos hanya sebagai saksi?

Ketidakkonsistenan dalam Penegakan Hukum

Berikut adalah contoh tiga kasus yang mencerminkan ketidakkonsistenan tersebut:

Kasus 1:

Korupsi Pembangunan Jembatan Rangka Baja di Pidie (2021)
Kejati Aceh menetapkan tersangka sebagai berikut:

● Pengguna Anggaran (PA): Fajri (mantan Kadis PUPR Aceh)
● Kuasa Pengguna Anggaran (KPA): Johnnery Ferdian
● Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK): Kurniawan
● Wakil Direktur CV Pilar Jaya: Sarifuddin
● Tenaga Ahli PT. Nuansa Galaxy: Ramli

Namun, dalam kasus ini, penanggung jawab PT. Nuansa Galaxy tidak dijadikan sebagai tersangka, meskipun seharusnya memiliki tanggung jawab hukum dalam perjanjian proyek.

Kasus 2:

Dugaan Korupsi Pembangunan Puskesmas Lamtamot, Aceh Besar (2024)
Kejari Aceh Besar menetapkan tersangka:

● Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK): Teuku Zahlul Fitri
● Wakil Direktur CV Selendang Nikmat: MARIZKA RAZI
● Peminjam perusahaan: Said Isa
● Direktur CV Design Preview Consultant (Konsultan Pengawas): SN

Dalam kasus ini, Lukman dan dr. Eddy Purwanto, yang bertindak sebagai PA dan KPA, hanya dijadikan saksi. Padahal, dalam kasus serupa sebelumnya, pejabat dengan peran yang sama justru dijadikan tersangka. Mengapa ada perbedaan perlakuan seperti ini? Apakah hukum tidak konsisten?

Putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh No.23/Pid.Sus.Tpk/2023/PN.BNA menyatakan Teuku Zahlul Fitri sebagai PPTK, terbukti bersalah, namun Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh No.41/PID.SUS/TIPIKOR/2024/PT BNA menyatakan Teuku Zahlul Fitri sebagai PPTK, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukaan tindak pidana korupsi.

Kasus 3:

Baca Juga :  Dapat Remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri 1442 H, 3 Napi Rutan Prabumulih Beragama Islam Bebas

Dugaan Korupsi Pengadaan Budidaya Ikan Kakap dan Pakan Ikan Rucah Di Aceh Timur (2024)
Kejati Aceh menetapkan tersangka sebagai berikut:

● Ketua BRA: Suhendri
● Zulfikar (kaki tangan Suhendri)
● Zamzami (teman Suhendri)
● Hamdani (kaki tangan Zamzami)
● Kuasa Pengguna Anggaran (KPA): Muhammad
● Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK): Mahdi

Namun, dalam kasus ini, Dr. Syukri sebagai Pengguna Anggaran (PA) serta lima perusahaan penyedia yaitu CV. Meuseraya, CV. Juang Karya, CV. Globalindo Mandiri Jaya, CV. Alam Raya Perkasa dan CV. Semangat Baru Qaleesya hanya dijadikan saksi, tidak seperti dalam kasus pertama di mana PA dan penyedia jasa dijadikan tersangka.

Analisis dan Kesimpulan

Ketidakkonsistenan Kejati Aceh dalam menetapkan tersangka menunjukkan adanya standar ganda dalam penegakan hukum. Jika PA dan penyedia jasa bisa dijadikan tersangka di satu kasus, mengapa di kasus lain mereka hanya menjadi saksi? Apakah ini berarti ada unsur subjektivitas atau bahkan intervensi dalam proses hukum? Apakah kinerja mereka tidak diawasi oleh Kejaksaan Agung?

Adanya praktik tebang pilih dalam penegakan hukum menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan wewenang, ketidakadilan, dan bahkan kemungkinan adanya dugaan suap. Jika dalam kasus yang serupa ada pihak yang dijadikan tersangka sementara pihak lain hanya dijadikan saksi, maka wajar jika publik mencurigai adanya tekanan politik, ekonomi, atau kepentingan tertentu yang mempengaruhi keputusan hukum.

Praktik tebang pilih ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Aceh, wajar jika publik mulai bertanya: apakah hukum masih tegak lurus atau justru bisa dibengkokkan sesuai kepentingan tertentu?

Penegakan hukum harus transparan, akuntabel, dan adil bagi semua pihak. Jangan sampai penanganan kasus korupsi di Aceh menjadi alat permainan yang hanya menjerat pihak-pihak tertentu sementara yang lain dibiarkan bebas.

Sorotan pada Pada Kasus 3

Pada kasus dugaan korupsi pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah di Aceh Timur, Penulis ingin menyoroti tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Aceh Timur yang dibacakan pada 21 Februari 2025.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Muhammad, yang menjabat sebagai KPA, dengan hukuman 9 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti Rp 250 juta. Sementara itu, Mahdi, yang bertugas sebagai PPTK, dituntut 8,5 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti Rp 250 juta.”

Namun, fakta persidangan menunjukkan bahwa:

● Penyiapan Administrasi dan Pemilihan Penyedia : M. Fachrurrazi alias Syauki mengaku bahwa atas perintah Zamzami, dialah yang menyiapkan seluruh dokumen administerasi, Ahmarullah lah yang melakukan pemilihan perusahaan (nge klik) melalui e-purchasing, menyiapkan kontrak, dan dokumen lainnya. Artinya bahwa Muhammad dan Mahdi tidak terbukti melaksanakan pengadaan, memilih penyedia, membuat kontrak.

Baca Juga :  PJ Bupati Barito Utara, Drs Muhlis Pimpin Upacara HUT RI Ke 79 Diarena Terbuka Tiara Batara Muara Teweh

● Aliran Dana : Kesaksian Azmi alias Abon dan Zamzami tentang aliran dana Rp 750 juta sangat lemah karena bersifat “testimonium de auditu” dan telah dibantah oleh Suhendri, Muhammad, dan Mahdi. Artinya bahwa tidak terbukti adanya aliran dana ke Muhammad, dan Mahdi.

● Ancaman : Dr. Syukri, Zamzami, Muhammad, dan Mahdi mengaku mengalami ancaman fisik dan psikologis untuk menandatangani dokumen.

Keterangan Saksi Ahli

Dr. Dahlan Ali, S.H., M.Hum., seorang ahli hukum, menjelaskan bahwa seseorang tidak bisa dihukum jika tindakannya dilakukan karena dipaksa atau diancam. Menurutnya, paksaan atau ancaman menghilangkan unsur ‘kesengajaan’, yang merupakan syarat utama untuk menjatuhkan hukuman.

Dalam kasus ini, Muhammad dan Mahdi mengaku bahwa mereka menandatangani dokumen karena merasa terancam, baik secara fisik maupun psikologis. Keterangan ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi JPU.

Berdasarkan fakta tersebut, tuntutan terhadap Muhammad dan Mahdi terkesan tidak proporsional dan tidak mempertimbangkan konteks ancaman serta tekanan yang mereka alami.

1. Tuntutan JPU tanpa mempertimbangkan fakta yang ada, dimana sesuai fakta dipersidangan terdakwa Muhammad dan Terdakwa Mahdi tidak terbukti melaksanakan pengadaan, memilih penyedia, membuat kontrak serta ada menerima aliran dana dari pengadaan ikan kakap dan pakan rucah;

2. Selain itu Terdakwa Muhammad dan terdakwa Mahdi tidak terbukti mempunyai niat jahat untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain, dan tidak berupaya untuk melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan bibit ikan kakap dan kakap dan pakan rucah;

3. Kesalahan terdakwa Muhammad dan Mahdi hanya pada tanda tangan dokumen, dan itu pun karena mereka merasa terancam.

Sehingga berdasarkan fakta tersebut, tuntutan terhadap Muhammad dan Mahdi yang mencapai 9 tahun penjara merupakan ketidakadilan yang mencedrai hati nurani yang sebenarnya mereka menjadi korban dalam perkara ini harus dituntut dengan hukuman yang sangat berat.

Penutup

Hukum harus adil bagi semua, bukan hanya bagi yang tidak memiliki kuasa! Ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum merusak kepercayaan masyarakat dan menimbulkan kesan bahwa hukum bisa dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Kejaksaan di Aceh harus menegakkan hukum dengan transparan, bertanggung jawab, dan konsisten agar keadilan benar-benar dirasakan oleh semua orang.

Comment