Apa Yang Diperbincangkan Teolog Kristen dan Muslim, Dahulu dan Sekarang?

MediaSuaraMabes, Jakarta – Kajian berdasarkan buku “Interaksi Islam” bersama Prof. Dr. Mun’im Sirry. Narasumber: Prof. Dr. Mun’im Sirry (Guru Besar Studi Islam, University of Notre Dame, Amerika Serikat). Pendamping Kelas: Dr Budhy Munawar-Rachman (Direktur PCRP, Dosen STF Driyarkara)
Program ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami dinamika interaksi intelektual antara teolog Kristen dan Muslim melalui sejarah, hingga permasalahan kontemporer yang dihadapi saat ini.

Diskusi ini mengupas karya-karya yang menggambarkan perdebatan dan kolaborasi di antara dua tradisi teologis ini, baik di masa lalu maupun sekarang. Program ini terbagi dalam tiga pertemuan yang masing-masing memiliki fokus yang spesifik. Peserta akan diajak untuk melihat bagaimana pandangan teologis ini berkembang dan bagaimana kita dapat memanfaatkan dialog tersebut untuk membangun hubungan yang lebih baik di masa depan.

Pertemuan 1: Apa yang Diperbincangkan Teolog Kristen dan Muslim Dahulu Pada pertemuan pertama, peserta akan diajak menelusuri sejarah interaksi teologis antara Kristen dan Islam pada masa lampau. Diskusi akan mencakup topik-topik utama yang menjadi fokus perdebatan di antara kedua komunitas ini, seperti perbedaan pandangan tentang Tuhan, wahyu, dan figur-figur kenabian. Pembahasan ini penting untuk memahami bagaimana kedua agama saling mempengaruhi pemikiran satu sama lain sejak abad-abad awal.

Pertemuan 2: Apa yang Diperbincangkan Teolog Kristen dan Muslim Sekarang Pertemuan kedua akan berfokus pada dialog dan perdebatan yang terjadi di masa kini antara teolog Kristen dan Muslim. Isu-isu kontemporer seperti pluralisme agama, hak asasi manusia, dan etika global akan menjadi topik utama dalam perbincangan ini. Peserta akan melihat bagaimana kedua komunitas teologis ini merespons tantangan dunia modern serta berusaha untuk menemukan titik temu dalam menghadapi masalah-masalah global.

Pertemuan 3: Menjembatani Masa Lalu dan Sekarang Pertemuan terakhir bertujuan untuk merajut benang merah antara perdebatan klasik dan perbincangan modern. Di sini, peserta akan diajak untuk memahami bagaimana warisan teologis dari masa lalu dapat memberikan wawasan penting bagi dialog antaragama di masa kini. Diskusi akan difokuskan pada upaya-upaya menjembatani pandangan teologis yang berbeda, dengan tujuan membangun kerjasama yang lebih harmonis antara komunitas Kristen dan Muslim dalam menghadapi tantangan masa depan.

Mengapa Diskusi Ini Penting? Diskusi ini penting karena hubungan antara komunitas Kristen dan Muslim memiliki dampak besar terhadap perdamaian dan stabilitas global. Dalam konteks dunia yang semakin terhubung dan beragam, dialog antaragama menjadi esensial untuk membangun saling pengertian, mengurangi prasangka, dan mendorong kerja sama lintas budaya serta agama.

Dengan memahami sejarah interaksi teologis serta isu-isu kontemporer yang dibahas oleh para teolog dari kedua tradisi, kita dapat menemukan cara-cara baru untuk mempromosikan toleransi, empati, dan solidaritas dalam menghadapi tantangan bersama, seperti konflik sosial, ketidakadilan, dan perubahan iklim. Diskusi ini bukan hanya relevan bagi pemahaman akademis, tetapi juga bagi mereka yang ingin berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.

Baca Juga :  Aliansi Ojol Bersatu Wilayah Cibadak Sukabumi, Membagikan Santunan Anak yatim Dan Pembagian Takjil

Dialog Kristen-Islam Suatu Tanggapan Terhadap Hans Kung oleh Seyyed Hossein Nasr George Washington University, Washington D.C. SUNGGUH merupakan kebahagiaan bagi saya kata Seyyed Hossein Nasr untuk dapat menanggapi makalah Professor Hans Kung tentang hubungan-hubungan Islam Kristen.

Sudah barang tentu sangat terlambat sekali di masa sejarah manusia ini semata-mata mengabaikan penyajiannya yang sarat dengan kata-kata basi dan diplomasi ini. Saya ingin, oleh karenanya, mencermati isu-isu penting sekali yang telah dikemukakan dengan penuh kesadaran pada kesulitan-kesulitan yang ada di wilayah ini dan dengan keberanian yang dibutuhkan untuk secara langsung mengkonfrontasikan halangan-halangan yang ada dan yang telah digarisbawahi Hans Kung.

Betapapun juga, ada perbedaan-perbedaan amat penting yang terdapat di dalam interpretasi Islam tentang beberapa hal ini. Hans Kung telah memulai pagi hari ini dengan suatu silogisme Aristotelian, bahwa tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian di antara agama-agama, bahwa kedamaian tidak mungkin ada tanpa dialog, dan bahwa dialog tidak mungkin ada tanpa pemahaman. Dan karena itu, saya akan mulai catatan-catatan saya dengan mengupas hal ini.

Jika kedamaian merupakan tujuan dialog keagamaan – sebuah tesis yang tentu saja dapat diperdebatkan karena kebenaran datang sebelum kedamaian dan kedamaian mengikuti kebenaran– maka kita harus membicarakan Islam apa adanya, sebagaimana yang diterima oleh hampir satu milyar pemeluknya, bukan sebagaimana yang kita maui agar kita meneruskan dialog dengannya.

Saya menempatkan diri saya pada posisi ini hari ini sebagaimana saya selalu dan berbicara dari perspektif Islam tradisional. Seluruh pertanyaan yang akan saya jawab, yakni pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan al-Qur’an, tabiat Nabi Muhammad dan sebagainya, akan dijawab dengan cara seperti itu yang merupakan tanggapan-tanggapan saya yang telah disampaikan di Lahore, Kairo, Marakesy, atau beberapa tempat lain di dunia Muslim. Jawaban-jawaban tersebut cukup menarik perhatian orang-orang terpelajar di kota-kota tersebut dan kebanyakan mereka membela posisi-posisi yang ditawarkan di dalam tanggapan-tanggapan ini.

Saya teringat bahwa persis sembilan tahun lalu di musim gugur yang indah, saya berbahagia sekali memimpin sekelompok teolog Muslim ke Roma untuk sebuah dialog Kristen-Islam. Kami bahkan saat itu dibawa ke Assisi. Saya diperkenankan menunaikan shalat zhuhur dengan dua orang lain di tempat St. Francis yang agung itu memperoleh stigmata (tanda yang ditorehkan dengan paku ke badan orang-orang suci-pen.).

Baca Juga :  Muhammadiyah Dirikan Sekolah Perempuan Di Belitung Timur

Itu adalah tindakan yang luar biasa dari tuan rumah kami, tetapi tetap tidak memecahkan masalah-masalah teologis Kristen-Islam. Dan masalah-masalah yang tidak terpecahkan itu adalah masalah-masalah yang sebenarnya disinggung Kung sekarang ini.

Saya gembira, Kung menegaskan bahwa Islam adalah sebuah cara hidup yang total. Pernyataan ini lagi-lagi sudah terlalu terlambat untuk diulang-ulang dan pada dasarnya merupakan semacam tautologi [penambahan kata-kata tetapi tak memberi arti yang baru, alias pengulangan saja] yang kosong bagi banyak orang Muslim. Bahkan orang-orang yang tidak begitu taat dan tidak tahu tradisi mereka sendiri dengan baik mempertegas pernyataan tersebut yang fundamental bagi pemahaman tentang Islam.

Sebelum mengakhiri pembicaraan ini, saya ingin kembali pada isu penting lain. Ada banyak hal menjelang akhir esai Kung yang menurut hemat saya tak ada orang Muslim yang pernah menerimanya, dan karena saya telah berjanji menjadi seksama, maka saya harus menyebut hanya beberapa saja. Salah satu dari hal ini perlu ditekankan secara khusus, dan itu adalah persoalan tentang al-Qur’an yang mengandung tradisi-tradisi yang menyesatkan.

Dari sudut pandang apa yang saya katakan tentang makna al-Qur’an bagi orang-orang Muslim, tak seorang Muslim pun akan menerima pernyataan seperti itu dan dapat mengadakan sebuah dialog. Seseorang mungkin menginterpretasikan suatu bagian tertentu al-Qur’an dengan cara-cara yang berbeda. Al-Qur’an mempunyai banyak tingkat makna.

Itulah kenapa menjadi mungkin bagi filsuf Peripatetik terbesar pada Abad Pertengahan, yaitu Ibn Sina, menulis sebuah tafsir tentang ayat yang sama (Ayat Cahaya [ayat al-Nur] yang pertama kali ditafsirkan oleh Ibn Sina) seperti al-Ghazali, pengkritik Ibn Sina yang mengikuti model Ibn Sina tapi menentangnya.

Realitas yang mereka miliki bersama adalah ayat al-Qur’an tadi (Ayat Cahaya). Persoalan tentang tradisi-tradisi yang menyesatkan dalam al-Qur’an adalah palsu dan tidak ada orang Muslim, apa pun madzhabnya, yang akan menerima pernyataan seperti itu. tutupmya

Tokoh muslim Indonesia Mun’Mim Sirry kembali melahirkan karya terbarunya. Judulnya ‘Koeksistensi Islam-Kristen’.

Dalam bukunya pria asal Sumenep, Madura itu menyampaikan soal relasi Islam dan Kristen. Di mana, kata dia, kedua agama ini, dalam rentang sejarah yang panjang kerap digambarkan penuh ketegangan, konflik, bahkan perang berdarah. Penaklukan dan perang salib menjadi bagian dari lembaran hitam hubungan kedua komunitas agama terbesar ini.

Rivalitas kedua agama digambarkan berlanjut hingga zaman modern ini. Gelombang ‘Islamophobia’ di Barat menghiasi media massa. Di dunia Islam, Kristen acapkali dilekatkan dengan penjajahan yang datang untuk menguasai.

“Akibat yang tak terhindarkan ialah berkembangnya kesalahpahaman dan ketegangan. Juga, sentimen negatif yang mengemuka akibat kekhawatiran Islamisasi atau Kristenisasi,” tulis Mun’im Sirry dalam pengantar dikutip TIMES Indonesia, Rabu (12/10/2022).

Baca Juga :  Carut Marut Pengairan Atau P3A di Desa Panggugu di Tiga Desa Lereng Dolok Pinapan

Akademisi University of Notre Dame, Amerika Serikat (AS) itu menjelaskan, buku setebal 290 itu menyuguhkan gambaran koeksistensi Islam-Kristen yang berbeda. Menurutnya, bukan berarti ketegangan dan konflik itu tak pernah ada, melainkan bukan cerita segalanya.

“Perang itu melelahkan, tak mungkin orang marah-marah melulu, tegang terus! Ada sisi-sisi lain dari hubungan Kristen dan Muslim yang kerap diabaikan. Memang, perjumpaan kedua agama diwarnai dengan rivalitas, permusuhan dan kompetisi. Namun demikian, ada juga momen dialog yang terbuka, kolaborasi yang saling menguntungkan dan persahabatan sejati yang tidak lusuh dan luntur karena konflik,” jelasnya.

Mun’im Sirry menjelaskan, bagian pertama dalam buku ini berisi tulisan-tulisan pendek yang dibagikan di Facebook, dan mencoba merekam keterlibatan kaum Kristiani dalam sejarah Islam awal.

“Saya melacak kata Mun’Min berbagai sumber, baik yang ditulis sejarawan Muslim maupun non-Muslim, terkait bagaimana orang-orang Kristen diperlakukan dalam masyarakat Muslim sejak zaman Nabi Muhammad hingga masa pemerintahan Abbasiyah dan Fathimiyah,” katanya.

Disisi lain, Pemikiran Budhy Munawar-Rachman Direktur PCRP,Dosen STF Dryakara, tentang Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme dan relevansinya bagi dialog Islam –Kristen di Indonesia.
Di Indonesia kata Budhy, pada saat ini tolerasi untuk hidup beragama dapat dikatakan rendah.

Melalui survey dan penelitian yang ada Indonesia memang tergolong rendah tingkat toleransi beragamanya. Terbukti di daerah-daerah masih banyak kasus-kasus yang terjadi seperti; kekerasaan atas nama agama, pembakaran tempat ibadah dan terjadi diskriminasi terhadap umat beragama.

Salah satu pemicu terjadinya hal-hal tersebut adalah pemahaman mengenai klaim kebenaran suatu agama sehingga penganut agama yang lain dianggap sebagai kafir. Budhy Munawar-Rachman adalah salah seorang pemikir Islam yang memberikan pemahaman bahwa sebenarnya agama Islam menganjurkan untuk saling hidup berdampingan satu dengan yang lain.

Melalui tiga aspek pemahaman yang ada mengenai sekularisme, liberalisme dan pluralisme ini diperlihatkan bahwa semuanya itu sejalan dengan ajaran agama Islam. Dalam Islam secara teologis al-islam sendiri berarti sikap pasrah kepada Tuhan atau perdamaian. Ini berarti bahwa Islam sendiri pada hakikatnya mengajarkan perdamaian atau dengan kata lain tidak menganjurkan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Dengan pemahaman yang ada, penting adanya untuk membawanya dalam sebuah dialog antar agama. Dialog agama bertujuan untuk dapat saling mengenal, saling memahami dan saling mendengarkan. Dan akhir dari semua itu pemahaman yang didialogkan dapat memunculkan pemahaman yang baru dalam hidup beragama untuk menciptakan kehidupan yang adil, damai dan sejahtera. Ujar Budhy.( Ring-o)

Comment